Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Bagaimana pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah?
Apakah Iman itu bisa bertambah atau berkurang?
Jawab:
Pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah: ikrar dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan.
Jadi, Iman itu mencakup tiga hal:
[1] Ikrar dengan hati.
[2] Pengucapan dengan lisan.
[3] Pengamalan dengan anggota badan
Jika keadaannya demikian, maka iman itu akan bisa bertambah atau bisa saja berkurang. Lagi pula nilai ikrar itu tidak selalu sama. Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita, tidak sama dengan jika langsung melihat persoalan dengan kepala mata sendiri. Pernyataan karena memperoleh berita dari satu orang tentu berbeda dari pernyataan dengan memperoleh berita dari dua orang. Demikian seterusnya. Oleh karena itu, Ibrahim ‘alaihis sallam pernah berkata seperti yang dicantumkan oleh Allah dalam Al-Qur’an.
Artinya: “Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati.”
Allah berfirman: “Apakah kamu belum percaya?” Ibrahim menjawab: “Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.” (Qs.Al-Baqarah : 260)
Iman akan bertambah tergantung pada pengikraran hati, ketenangan dan kemantapannya. Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirinya sendiri, maka ketika menghadiri majlis dzikir dan mendengarkan nasehat di dalamnya, disebutkan pula perihal surga dan neraka ; maka imannya akan bertambah sehingga seakan-akan ia menyaksikannya dengan mata kepala. Namun ketika ia lengah dan meninggalkan majlis itu, maka bisa jadi keyakinan dalam hatinya akan berkurang.
Iman juga akan bertambah tergantung pada pengucapan, maka orang berdzikir sepuluh kali tentu berbeda dengan yang berdzikir seratus kali. Yang kedua tentu lebih banyak tambahannya.
Demikian halnya dengan orang yang beribadah secara sempurna tentunya akan lebih bertambah imannya ketimbang orang yang ibadahnya kurang.
Dalam hal amal perbuatan pun juga demikian, orang yang amalan dengan anggota badannya jauh lebih banyak daripada orang lain, maka ia akan lebih bertambah imannya daripada orang yang tidak melakukan perbuatan seperti dia.
Tentang bertambah atau berkurangnya iman, ini telah disebutkan di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya.” (Qs. Al-Mudatstsir: 31)
Artinya: “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?” Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (Qs. At-Taubah: 124-125)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah bersabda bahwa kaum wanita itu memiliki kekurangan dalam soal akal dan agamanya. Dengan demikian, maka jelaslah kiranya bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.
Namun ada masalah yang penting, apa yang menyebabkan iman itu bisa bertambah? Ada beberapa sebab, di antaranya:
[1]. Mengenal Allah (Ma’rifatullah) dengan nama-nama (asma’) dan sifat-sifat-Nya.
Setiap kali marifatullahnya seseorang itu bertambah, maka tak diragukan lagi imannya akan bertambah pula. Oleh karena itu para ahli ilmu yang mengetahui benar-benar tentang asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya lebih kuat imannya dari pada yang lain.
[2]. Memperlihatkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah.
Seseorang jika mau memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyah Allah, yaitu seluruh ciptaan-Nya, maka imannya akan bertambah. Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan.” (Qs. Adz-Dzariyat: 20-21)
Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa jika manusia mau memperhatikan dan merenungkan alam ini, maka imannya akan semakin bertambah.
[3]. Banyak melaksanakan ketaatan.
Seseorang yang mau menambah ketaatannya, maka akan bertambah pula imannya, apakah ketaatan itu berupa qauliyah maupun fi’liyah. Berdzikir -umpamanya- akan menambah keimanan secara kuantitas dan kualitas. Demikian juga shalat, puasa dan haji akan menambah keimanan secara kuantitas maupun kualitas.
Adapun penyebab berkurangnya iman adalah kebalikan daripada penyebab bertambahnya iman, yaitu:
[1]. Jahil terhadap asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya.
Ini akan menyebabkan berkurangnya iman. Karena, apabila mari’fatullah seseorang tentang asma’ dan sifat-sifat-Nya itu berkurang, tentu akan berkurang juga imannya.
[2]. Berpaling dari tafakkur mengenai ayat-ayat Allah yang kauniyah maupun syar’iyah.
Hal ini akan menyebabkan berkurangnya iman, atau paling tidak membuat keimanan seseorang menjadi statis tidak pernah berkembang.
[3]. Berbuat maksiat.
Kemaksiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan keimanan seseorang. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Tidaklah seseorang itu berbuat zina ketika melakukannnya sedang ia dalam keadaan beriman.” [Al-Hadits].
[4]. Meninggalkan ketaatan.
Meninggalkan keta’atan akan menyebabkan berkurangnya keimanan. Jika ketaatan itu berupa kewajiban lalu ditinggalkannya tanpa udzur, maka ini merupakan kekurangan yang dicela dan dikenai sanksi. Namun jika ketaatan itu bukan merupakan kewajiban, atau berupa kewajiban namun ditinggalkannya dengan udzur (alasan), maka ini juga merupakan kekurangan, namun tidak dicela. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menilai kaum wanita sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agamanya. Alasan kurang agamanya adalah karena jika ia sedang haid tidak melakukan shalat dan puasa.
Namun ia tidak dicela karena meninggalkan shalat dan puasa itu ketika sedang haid, bahkan memang diperintahkan meninggalkannya. Akan tetapi jika hal ini dilakukan oleh kaum laki-laki, maka jelas akan mengurangi keimannya dari sisi yang satu ini.
[Disalin dari kitab Fatawa Anil Iman wa Arkaniha, yang di susun oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud, edisi Indonesia Soal-Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Pustaka At-Tibyan]
Sumber: almanhaj.or.id
🔍 Dalil Bekam, Sunat Wanita Dalam Islam, Pembagian Daging Akikah, Hadits Tentang Shaf Shalat, Doa Setelah Membaca Surat Al Fatihah, Doa Mandi Wajib Setelah Melahirkan